Pendekatan Sosio-Kultural
Ada sebuah soal yang sangat penting setelah pembicaraan seputar soal pemahaman nash di atas, yaitu pendekatan sosio-kultural. Sosial-budaya adalah perkembangan budaya dalam konteks kemasyarakatan. Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi dari masyarakat feodal/agraris menuju masyarakat modern. Perkembangan yang terjadi ternyata bersifat dualistik; di satu pihak telah tercapai modernitas, termasuk upaya menciptakan infra-struktur ekonomi, dan perilaku di segaia bidang telah lebih rasional, sampai terkadang dengan mengorbankan norma-norma agama, tetapi di pihak lain perilaku feodal masih dipergunakan sebagai alat untuk mencari akar ke masa lampau. Dalam situasi perkembangan dualistik menuju modernitas (keadaan sarwa-modern) ini, maka hukum Islam akan berfungsi dengan baik apabila ia dikaitkan dengan perubahan pada struktur masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, sasaran perubahan itu bukanlah pada sistem pemerintahan atau sistem politik, akan tetapi pada sub-sub sistemnya. Misalnya, tanpa mempersoalkan ‘sistem’ ekonomi Indonesia yang tak jelas bentuknya ini, diambillah langkah-langkah untuk mencari model-model ideal dari pengorganisasian koperasi, suatu bentuk usaha yang ide dasarnya dipercayai bisa menjembatani antara sistem kapitalis dan sistem sosialis. Misalnya dengan mencobakan bentuk-bentuk usaha bersama yang pada masa lalu sebenarnya-banyak dilakukan. Sementara itu, perubahan politik memang suatu keharusan, tetapi untuk keperluan itu sistem kepartaian yang ada—termasuk hadirnya fraksi ABRI—masih tetap bisa dipergunakan. Persoalannya kemudian bagaimana sub-sub sistem yang ada bisa menjadi demokratis, mandiri dan sebagainya. Misalnya mengusahakan kemandirian Golkar mesti dimulai dengan menyadari kenyataan bahwa ketidak mandirian itu terletak pada dominasi orang-orang birokrasi pemerintahan di dalamnya. Di sini pendekatan sosio-kultural mengambil peranan penting dalam merubah perilaku tanpa merubah bentuk-bentuk lahiriah Iembaga pemerintahan itu sendiri.
Di antara contoh konkret yang bisa disebut adalah apa yang terjadi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). NU yang ada sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya: Tanfidziyah dan Syuriyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustasyar Akan tetapi sekaligus NU sekarang bukanlah NU yang dulu. Karena di dalam tubuhnya telah berkembang pemikiran-pemikiran makro, cakrawala pandang yang lebih luas, pemikiran yang jauh ke depan dan cara kerja yang lebih administrates. Perubahan-perubahan dalam kultur ini masih dalam konteks kelembagaannya semula. Karena terjadi perubahan pada segi budaya, maka berubah pulalah konteks masyarakatnya. Dengan demikian, untuk konteks Indonesia secara umum, tantangan umat Islam sebenarnya adalah bagaimana mengisi Pancasila. Negara Kesatuan RI dan sistem politiknya dengan wawasan Islam yang secara kultural bisa merubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat tadi.
Pendekatan sosio-kultural terkadang disalah pahami sebagai hanya bersudut pandang budaya atau politik saja, suatu pandangan yang menyesatkan. Pendekatan politik selalu mempersoalkan segi kelembagaan, Sedangkan pendekatan kultural berbicara tentang perilaku masyarakat dan usaha pencerahan. Kemudian persoalannya mengaitkan lembaga dengan perilaku masyarakat adalah persoalan mempengaruhi perilaku lembaga. Di sinilah letak peranan dari pendekatan sosio-kultural. Sementara itu kalangan yang tampak menggebu-gebu dengan pendekatan struktural sering terjerumus dalam pembicaraan tentang perilaku budaya suatu lembaga, bukan bagaimana merombaknya. Apalagi perincian yang dikemukakan dalam rangka pendekatan struktural itu ternyata adalah cara-cara sosial budaya. Dus, sebenarnya telah terjadi kerancuan semantik.
Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme). Umat Islam menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi muslim yang baik. Lalu tidak diakuilah kemusliman orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu, seperti orang-orang yang baru bisa melaksanakan ibadah haji dan zakat sementara belum mampu melaksanakan shalat dan puasa dengan baik. Kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan substitusi. Karena itu patut diusulkan agar terlebih dahulu Islam menekankan pembicaraan tentaing keadilan, demokrasi dan persamaan. Dengan demikian, peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa ini akan lebih efektif dan perilaku mereka akan lebih demokratis.